Kalau kita pikir lagi, apakah model bisnis Microtransaction dalam video game harus dihapuskan?
Semenjak 1.5 dekade belakangan, istilah microtransaction atau mikrotransaksi menjadi sangat populer dalam video game. Nah sebelum melanjutkan pembahasan, gue akan menjelaskan lagi definisi atau makna dari istilah ini siapa tahu saja, ada dari kamu yang belum memahami.
Seperti yang terlansir dari Investopedia. Microtransaction adalah model bisnis dalam video game yang mana mengharuskan pemainnya untuk membeli item atau atribut-atribut in-game tertentu dengan uang sungguhan (real-life).
Biasanya microtransaction diterapkan dalam game-game yang bisa kita langsung mainkan (free to play). Jadi intinya main game-nya secara general gratis, tapi untuk menggunakan item atau atribut dalam game-nya, kita harus beli lagi dengan uang sungguhan. Alias, bukan uang virtual game-nya (in-game currency).
Nah model bisnis atau “gaya hidup” baru dari industri ini sudah berjalan dalam 1 dekade belakangan. Dan tak pelak model bisnis ini menimbulkan pro-kontra pada sebagian gamer-nya. Lalu melihat hal ini, alhasil kini timbul pertanyaan.
Apakah microtransaction dalam video game lebih baik harus dihapuskan saja agar tidak memperparah pro-kontra yang sudah ada?
Contents Navigation
Sisi Gamer & Sisi Developer
Nah untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya kita harus melihat dari kedua sisi berlawanan. Spesifiknya, dari sisi gamer dan juga sisi developer game-nya. Karena kita tentunya gak bisa untuk langsung main memutuskan dengan alasan atau sudut pandang yang sepihak saja.
Oke mari kita mulai saja dari sudut pandang gamer. Tentunya kalau kita melihat dari sudut pandang ini, maka ya kita pastinya mempunya satu jawaban yang super seragam. Spesifiknya, kita pastinya setuju kalau microtransaction dalam video game harus tidak ada lagi.
Main Game Untuk Senang, Bukan Untuk Stres
Alasannya? Ya tentunya agar kita tidak stres sendiri karena isi dompet terkuras terus hanya untuk membeli item, atribut, atau hal-hal lain yang kita anggap penting untuk progress game kita.
Oke mungkin beberapa dari kamu ada yang tidak keberatan sama sekali. Tapi ya dalam hal ini kita tidak boleh egois juga. Faktanya, banyak juga gamer yang keadaan ekonominya sangat terbatas atau bahkan tidak mampu sama sekali.
Oke, oke. Mungkin kamu langsung memberikan argument balik, “loh kalau misalkan ekonominya tidak baik, kok bisa beli console game?” Masuk akal banget memang argumen ini. Tapi ya kita juga harus ingat, ia membeli console untuk main (have fun) dengan game-nya.
Tidak ada sama sekali ide di kepalanya kalau nantinya ia harus mengeluarkan uang sungguhannya hanya untuk membeli item atau atribut game lainnya. Dan poin inilah yang ingin gue tekankan disini. Banyak developer sekarang ini yang lebih memikirkan keuntungan mereka saja dan telah lupa total dengan esensi video game yang sesungguhnya, HAVING FUN!
Game Sekarang Banyak Untung Dari Microtransaction
Tapi memang, pada akhirnya sekali lagi kita sebagai konsumen sesekali juga harus melihat dari kacamata developer game-nya.
Karena faktanya, semenjak model bisnis microtrnsaction ini diterapkan, toh model ini sukses memberikan keuntungan yang amat sangat terhadap game-nya. Bahkan nih, rata-rata game saat ini justru lebih banyak mengeruk keuntungannya dari microtransaction.
Sebagai contoh seperti yang juga terlansir dari Investopedia. Game MOBA hit, League of Legends mendapatkan banyak keuntungannya hanya dari microtransaction. Spesifiknya melalui pembelian mata uang/poin game-nya, Riot Points.
Riot Points banyak dibeli oleh pemain LOL-nya untuk membuka karakter tersembunyi. Padahal sih dengan hanya menamatkan level-nya, pemain bisa membuka karakter-karakter rahasianya tersebut. Tapi ya logika gampangnya, kalau ada modal dan jalan pintas, ngapain musti cape-cape bukan?
Hal yang sama juga terjadi pada game hit Fortnite. Game survival sandbox milik Epic Games ini, juga mengandalkan keuntungannya dari microtransactions. Spesifiknya pembelian terhadap skins dan power-ups.
Untung Boleh Tapi Jangan Terlalu Merugikan Juga
Nah dengan seluruh argument dari kedua sisi tersebut. Jadi sekali lagi, apakah microtransaction dalam video game lebih baik hilang saja?
Nah ini dia sekali lagi. Dalam menyimpulkan pembahasan ini kita gak boleh egois atau dari satu sisi saja. Jadi kalau menurut gue, gak masalah sih ada microtransaction dalam video game. Tapi ya jangan KIRA-KIRA juga. Alias, jangan malah akhirnya merugikan kita sebagai gamer.
Dengan kata lain, developer harus bisa cerdas banget dalam mengkalkulasikan semuanya. Apalagi jika game-nya masih dalam bentuk DVD atau blu-ray. Alias kita harus membeli rilisan fisiknya.
Bayangkan saja kalau kita harus merogoh kocek untuk membeli DVD game-nya yang mungkin harganya sudah lumayan mahal. Lalu ketika main, ternyata untuk membuka level atau item yang kita anggap penting untuk progress game kita, harus merogoh kocek dengan sangat lumayan lagi atau bahkan lebih mahal.
Gran Turismo 7
Nah contoh nyata baru-baru ini dari pernyataan tersebut adalah game ke-7 franchise balap mobil hit, Gran Turismo 7 (2022). Padahal baru saja rilis 4 Maret, 2022 lalu. Game ini sudah langsung bermasalah besar.
Bahkan masalahnya tersebut sampai membuat seluruh gamer memberikan review sangat buruk terhadap game ini. Dan masalah besarnya tersebut tentunya berkaitan dengan pembahasan kita kali ini.
Bayangkan saja, sudah sekitar Rp. 1.029.000 (PS5), pemain juga harus membeli lagi mobil yang mereka inginkan via microtransaction. Dan gak “tanggung-tanggung”, harga mobilnya ada yang sampai $200 atau sekitar Rp. 2.8 juta. Ya bayangkan saja apabila kita main game sampai menghabiskan uang sebanyak itu.
Memang sih pemain bisa menempuh cara “tradisional” seperti dalam seri-seri GT terdahulu. Yaitu, menyelesaikan misi, mode, atau achievement tertentu untuk mendapatkan in-game currency-nya.
Tapi banyak yang mengeluhkan dari kemarin kalau hasil uang yang mereka dapatkan setelah menjalankan misi balapannya gak sebanding sama sekali. Dengan kata lain developer, Polyphony Digital seakan ingin memaksakan secara halus pemainnya untuk merogoh banyak kocek mereka.
Untunglah mereka kini sudah mendapatkan solusinya. Tapi gak menutup kemungkinan bahwa apa yang terjadi dengan Gran Turismo 7 ini, bisa terulang lagi pada game-game lainnya. Jadi ya intinya kita sebagai pemain, harus selalu waspada dan bijak-bijak saja oke?
Nah sekarang bagaimana tanggapnmu terhadap pembahasan ini? Apakah menurutmu microtransaction dalam video game memang harus dihapuskan?