Setelah menunggu hampir 1,5 tahun lamanya, akhirnya adaptasi live-action Mulan rilis juga 4 September 2020 lalu melalui Disney Plus. Dan berikut adalah review Mulan nya.
Anyway, karena telah menunggu lama, bagi kita-kita yang kala kecil dulu sudah menyaksikan format animasi orisinilnya (1998), ekspektasi tinggi pun langsung tumbuh. Atau ya minimal, sama keren / persisnya dengan versi animasinya.
Sayangnya harapan tersebut langsung binasa, bahkan sebelum filmnya rilis. Karena dari jauh hari kita sudah mendengar banyak kabar perubahan sana-sini yang akan terjadi pada adaptasi live-action nya ini.
Namun dari sekian banyak perubahan, adalah gak tampilnya karakter naga kecil cerewet, Mushu (Eddie Murphy) yang membuat kita langsung skeptis dengan kekerenan adapatsinya ini.
Seperti kita tahu, sosok karakter pendamping inilah yang justru nge-ramein film orisinil nya dulu. Tapi ya sudahlah. Mungkin aja tetep bakalan bagus bukan adaptasinya ini? Hmm, mendingan langsung cari tahu aja deh melalui review Mulan berikut ini.
Contents Navigation
Adaptasi Live-Action Paling Mengecewakan
Langsung aja deh tanpa basa-basi. Jujur gue suka sama film animasi orisinilnya. Ya gue ngaku aja deh.
Even gue lahir di pertengahan 80an dan dari kecil udah tumbuh besar dengan film-film kartun si Mickey tikus cs, gue “ajaibnya” pas kecil belum pernah nonton Mulan secara proper. Malah lebih taunya lagu soundtrack-nya, “Reflection” Christina Aguilera.
Oh ya ngomong-ngomong “Reflection”, soundtrack klasik tersebut ada lagi dalam adaptasinya ini. Dan yang nyanyiin juga masih mba Christina.
Walau aransemennya jauh terasa lebih “kolosal”, tapi entah mengapa aransemen barunya ini bagi gue, jauh lebih enak. Tapi ya versi orisinilnya juga masih sama sukanya.
Anyway balik lagi ke poin awal. Gue belum pernah sama sekali nonton Mulan orisinil. Jadi ya karena untuk tujuan review Mulan ini, alhasil, gue kemaren nonton dulu film animasi arahan Barry Cook & Tony Bancroft tersebut.
Walau baru pertama kali, man jujur. Gue suka dengan film animasinya. Mulan bener-bener, unik, lucu, adorable, dan inspiratif. Berdasarkan pendapat tersebut, gak heran jika gue merasa campur aduk emosi ketika akhirnya mau nonton adaptasinya ini.
Tapi pada saat yang sama, gue cuma berharap seenggaknya tampilin deh spirit / feel orisinilnya. Pokoknya kayak gue pas nonton film animasinya aja. Tapi yeah, harapan gue tersebut “ketinggian” banget.
Mulan si Pendekar SJW
Ya bener guys. Adaptasi live-action Mulan, sangat mengecewakan. Banyak banget perubahan elemen-elemen yang membuat kita cinta sama filmnya dulu, yang alhasil membuat kita mengerenyitkan dahi bahkan greget sendiri.
Seakan pergantian Mushu dengan burung Phoenix CGI belum cukup membuat fans sedikit offensif, film ini memodifikasi dua elemen utama yang membuat filmnya begitu dipuja.
Pertama adalah elemen yang dalam 2-4 tahun terakhir ini sering kita liat dalam film-film bahkan seri-seri Hollywood. Yap, apalagi kalau bukan transisi atau fokus habis-habisan pada elemen SJW / women empowerment yang sangat kental.
Memang sih secara teknis untuk kasus Mulan, penerapan tersebut masih pas lah. Karena kisah animasi bahkan legendanya memang demikian.Tapi dalam adaptasi live-action ini dan juga melalui pembahasan review Mulan ini, gue tekenin sekali lagi, kalau penerapannya terlalu over.
Sehingga, membuat karakter-karakter pria lain terlihat benar-benar seperti pendukung banget. Bisa kita liat juga contohnya dalam film ini, karakter love-interest, Chen Honghui (Yoson An), benar-benar keliatan terdominasi oleh Mulan (Yifei Liu).
Memang sekali lagi dalam film animasinya, Honghui juga diselamatkan nyawanya oleh Mulan. Tapi dari awal ia juga tampil dengan sebagaimana karakter Kapten perang pria sesungguhnya. Tegas, berwibawa, keras.
Bahkan Mulan nya saja ketika melihat langsung jatuh cinta. Nah dalam adaptasi ini justru sebaliknya. Malah yang keliatan naksir dan “nafsu” an banget, ya si Honghui nya. Belum lagi wajah An memang terlihat seperti anggota boyband yang manis-manis itu.
Super Sejak Lahir
Mungkin ini agak sedikit spoiler? Tapi memang langsung dijelasin sih di pembuka film. Ya anyway, perubahan elemen utama selanjutnya yang bener-bener bikin ofensif adalah latar belakang Mulan menjadi sosok badass yang kita ketahui selama ini.
Gak kayak di film animasi-nya yang mana, Mulan harus berlatih keras sebelum melakukan perang dengan geng Shan Yu, adaptasi ini yang mana Mulan harus berperang melawan geng Bori Khan (Jason Scott Lee), justru menampilkannya sudah “super” sejak lahir.
Tunggu dulu. Bukannya ia bisa terbang atau bisa invisible ya. Tapi sosoknya dari lahir sudah memiliki kemampuan untuk memproduksi energi Chi yang sangat sakti.
Seperti yang kita lihat dalam film-film berbau bela diri mandarin, memang apabila seseorang mampu memproduksi energi chi-nya dengan proper banget, ia akan memiliki kemampuan beladiri atau ketahanan diri yang mumpuni. Lebih luwes deh.
Nah emang gak salah sih dengan hal tersebut dan juga bukan sesuatu yang bersifat fantasi tau ngeyel. Tapi tetep aja untuk penerapannya dalam Mulan, ya gak bagus dong.
Justru ketika film animasi orisinilnya menampilkan bahwa ia manusia biasa kayak kita-kita. Ia juga harus berlatih keras banget supaya bisa jauh lebih kuat dan keren ketika perang. Hal tersebutlah yang membuat kita sebagai audiens sangat relatable.
Loh kebanyakan dari kita memang seperti ini bukan? Agar bisa mencapai potensi maksimal atau ingin meraih sesuatu, ya kita harus berlatih keras bukan? Bukannya kita udah punya kekuatan super atau Chi kuat dari dalam.
Sebenernya ada beberapa lagi sih perubahan-perubahan yang membuat adaptasinya gak banget. Tapi ya 2 itulah yang paling signifikan.
Sinematografi dan Pengarahan Mengagumkan
Lalu, apakah ada elemen positif yang bisa kita tulis dalam review Mulan ini? Untungnya ada sih guys. Gile juga sih kalau gak ada.
Ya terlepas kekurangan-kekurangan tersebut, untungnya nih film masih menampilkan sinematografi yang sangat indah. Blending antara CGI serta lokasi syutingnya yang berada di Cina dan Selandia Baru, bener-bener halus dan indah banget.
Lumayan seperti menyaksikan lukisan indah yang diciptakan oleh yang maha kuasa sehari-harinya.
Pengarahan dari sutradara Niki Caro pun juga keren dan memang sutradara asal Selandia Baru ini emang pilihan yang sangat tepat untuk adaptasi yang mengedepankan elemen women empowerenment ini.
Terlihat banget kok ketika ia dulu menangani film bertema sama yang Charlize Theron (Mad Max Fury Road) bintangi dengan sangat keren, North Country (2005). Pokoknya ia memang keren deh penyutradaraannya. Gak salah pilih banget.
Liu Yifei si Satu Dimensional Mulan
Selain aspek tersebut, aspek lain yang juga keren yang gue ingin tekankan di review Mulan ini adalah performa aktor-aktornya. Mulai dari Donnie Yen, Gong Li, Jason Scott Lee, bahkan si legenda martial arts, Jet Li, mereka sudah keren & maksimal.
Tapi sayang, justru yang memerankan karakter utama yang bermasalah. Sebenernya Yifei gak jelek aktingnya dan oke-oke aja. Cuma gara-gara modifikasi kedua elemen utama yang gue bilang tersebut, jadinya pengaruh besar banget dengan penampilan Mulan nya.
Kalau kamu inget, penampilan voice acting Ming-Na Wen (Street Fighter, Agents of S.H.I.E.L.D) terdengar sangat “hidup” dan range emosinya lebih variatif / tiga dimensional.
Nah, kenapa penampilan Mulan-nya bisa demikian? Ya karena peng-karakterisasian Mulan nya menerapkan dua elemen utama yang gue udah sebutin tersebut.
Jadi sekali lagi gara-gara kedua elemen utamanya ilang, ya jadinya Yifei gak ada ruang lagi untuk improvisasi.Jadinya ya sosok Mulan-nya keliatan terlalu serius dan kaku. Jadi kitanya pun juga kerasa “asem” dan bukan “manis” ketika ngeliat performa-nya.
Nonton Film Animasi Orisinilnya Saja
Jadi dengan seluruh positif dan negatif yang udah gue sebutin melalui review Mulan ini, ada baiknya bagi kamu yang emang rencana mau nonton filmnya apalagi, melalui Disney Plus yang seperti kita tahu, biaya langganannya sampai 200 ribu / bulan, sebaiknya tabung deh tuh duit.
Memang sih secara general masih worth untuk kita tonton. Gak sampe bikin kita greget mau banting remote atau mouse kita ke layar. Apalagi untuk di masa yang masih terus di rumah begini, masih bisa menghibur lah.
Tapi bagi kita yang fans animasi orisinilnya, aduh mending jangan deh. Atau kalau mau, turunin aja ekspektasi abis-abisan. Coba kalau gak merubah kedua elemen tersebut alias ikutin aja shot per shot film animasinya, adapatsi ini bakalan lebih keren.
Memang sih. Gue ngerti keputusan modifikasi ini karena si rumah tikus masih trauma dengan resepsi negatif yang mereka dapatkan dari adapatsi live action The Lion King (2019) yang memang, 100% shot per shot, copy-paste dari film animasinya.
Tapi ya faktanya, memang gak bisa pukul rata juga. Ada memang adaptasi yang memang harus tampil persis seperti versi animasi orisinilnya, tapi ada juga yang kalau melewati proses modifikasi terlihat jauh lebih keren atau ya gak masalah.
Nah untuk kasus Mulan ya harusnya shot-per shot saja seperti The Lion King. Atau kalau pun modif, ya ilangin aja elemen SJW yang amat sangat itu. Tapi yeah, seperti itu kan kerja Hollywood saat ini? What do you expect?
Setelah membaca review Mulan ini, bagaimana nih? Apakah kamu emang masih tertarik untuk menyaksikan filmnya?
Score: 6 / 10