MovieReview Film

Review Scream 2 (1997): Sekuel Yang Masih Sekeren Film Pertamanya

Setelah melakukan review film pertamanya, yuk mari sekarang kita simak pembahasan review Scream 2 berikut ini!

Review Scream 2 ini bersifat HEAVY SPOILER!

Dengan kesuksesan film pertamanya yang amat sangat, maka tidaklah heran jika kemudian sekuel Scream (1996) ini diproduksi dan dirilis. Dan kerennya nih, perilisan sekuelnya ini rilis tepat setahun setelah perilisan film pertamanya.

Jadi dengan kata lain, langkah tersebut merupakan langkah yang brilian banget. Karena banyak audiens dan terutama, fans film Scream pertama yang masih hype banget dengan film pertamanya. Alhasil, gak heran jika kala itu Scream 2 juga sama suksesnya seperti film pertamanya.

Melansir halaman Wikipedia film keduanya ini, dari total budget $24 juta sekuel yang kembali menampilkan Neve Campbell sebagai Sidney Prescott ini, sukses meraup total keuntungan sebesar $172 juta.

Memang sih masih kalah $1 juta dari film pertamanya yang sukses meraup $173 juta. Namun tetap saja jumlah tersebut kala itu, adalah sukses box-office yang sangat besar. Dan gue juga ingat ketika sekuel ini rilis, keseruan dan keramaiannya memang masih sama gokilnya seperti film pertamanya.

Namun hal tersebut terjadi hampir 25 tahun yang lalu. Nah sekarang ketika melakukan proses nonton ulangnya, gue pun berpikir. Apakah sekuelnya memang juga sama kerennya atau malah lebih keren dari Scream sehingga bisa mencapai kesuksesan besar tersebut? Well, langsung saja simak review Scream 2 berikut ini.

Masih Menerapkan Formula Sama, Tapi Tetap Keren

Oke mari kita mulai saja review Scream 2 ini dengan menjawab pertanyaan pada paragraf awal tersebut. Well sebenarnya kalau mau jujur banget, Scream 2 ini masih menerapkan formula yang sama saja seperti dalam film pertamanya.

Spesifiknya, adegan pembuka menampilkan adegan pembunuhan salah satu atau dalam kasus Scream 2 ini, dua karakter. Lalu setelahnya kredit judul, lalu baru masuk plot cerita filmnya.

Setelah itu dalam plot cerita filmnya, kita fokus dulu ke keberadaan / sikon Sidney. Spesifiknya bagaimana dan dimanakah dirinya sekarang 2 tahun setelah peristiwa film pertamanya. Setelahnya mulai Sidney dan karakter-karakter lain yang ada dalam filmnya mulai mendapatkan teror.

Setelahnya lagi, mulai saling menyelidiki dan salah-salahan antara karakternya dan kemudian Sidney mulai dikejar dan dipojokkan. Pada akhirnya iapun harus melihat beberapa teman dekatnya bahkan untuk Scream 2 ini termasuk pacarnya, Derek Feldman (Jerry O’ Connell) tewas dibunuh oleh sosok Ghostface barunya.

Baru pada akhirnya, Sidney dengan dibantu oleh satu atau 2 rekan dekatnya (biasanya Gale Weathers), membunuh sosok Ghostface-nya. Nah sekali lagi, formula inilah yang kembali kita lihat dalam sekuelnya ini.

Dan sekali lagi, walau masih menerapkan formula yang seragam seperti itu, namun toh Scream 2 ini masih tetap keren kok.

Kematian-Kematian Yang Jauh Lebih Gokil dan “Kreatif”

Nah kekerenan Scream 2 ini terdapat pada adegan kematian-kematiannya yang jauh lebih “kreatif”. Hal ini sudah terlihat banget dari adegan awalnya.

Si sosok Ghostface berbaur dengan penonton bioskop lain yang juga mengenakan topeng dan kostumnya. Lalu, karena berbaur tentunya ia tidak akan ketahuan ketika ia melakukan pembunuhan di dalam bioskopnya terhadap Phil Stevens (Omar Epps) dan Maureen Evans (Jada Pinkett-Smith).

Phil dibunuh ketika berada dalam toilet dengan tusukan pisau yang tembus dari satu dinding pintu bilik toilet Ghostface ke dinding pintu bilik toilet yang Phil sedang gunakan. Sedangkan Maureen, sang kekasih, ditusuk ketika si Ghostface sedang duduk di kursi Phil.

Lalu setelah menyadari ia berlumuran darah bagian sisi perutnya, Maureen dengan tertatih-tatih pergi ke depan layar bioskop, dan secara perlahan pula tersungkur dan tewas.

Ada lagi kematian kreatif tapi super miris dari sahabat dekat Sidney pada film pertamanya, Randy Meeks (Jamie Kennedy). Sebenarnya sih Randy tewasnya sangat standar. Ia dikagetkan dari belakang lalu di bawa dan ditusuk dalam sebuah mobil.

Namun yang membuatnya kreatif, adalah penulis naskah Kevin Williamson dan sutradara Wes Craven (Scream), memunculkan banyak anak muda yang kebetulan melewati pintu mobilnya yang tertutup itu sembari menghidupkan musik keras-keras dengan boombox mereka.

Alhasil karena demikian, mau Randy teriak atau bunyi pergumulan keduanya sekencang apapun, tetap saja suara tersebut kalah dengan suara boombox-nya. Jadi ya apes banget memang si Randy dalam film ini. Intinya benar-benar brilian sekali Craven dan Williamson dalam mengolah adegan-adegan pembunuhannya ini.

Fokus ke Cotton Weary dan Aspek Whodunit

Lalu, bagaimana dalam pengolahan aspek plot ceritanya? Seperti yang telah gue katakan pada awal paragraf review Scream 2 ini, plot sekuel ini sebenarnya masih menerapkan formula penceritaan yang sama persis seperti film pertamanya.

Sehingga selain terasa familiar banget, juga ya begitu-begitu saja. Tapi untungnya aspek formula sama tersebut tertutupi dengan 2 aspek yang ditekankan banget dalam sekuelnya ini.

Pertama adalah mulai menggali apa dan bagaimana Cotton Weary (Live Schreiber) dan kedua, mulai kian menguatkan aspek whodunit-nya. Bagi yang belum paham singkat saja ya. Whodunit adalah istilah dalam dunia perfilman yang mengacu pada istilah sosok misterius yang melakukan tindakan kriminal / pembunuhannya.

Selain slasher horror, istilah ini juga identik dengan genre film drama misteri atau detektif seperti salah satu contoh komersialnya, Knives Out (2019). Nah aspek istilah inilah yang sekali lagi Craven dan Williamson kian tekankan dalam sekuelnya ini.

Mulai dari film keduanya ini, Craven dan Williamson ingin kian menekankan ke kita kalau semua karakter dalam film ini bisa menjadi sosok pembunuh topeng hantunya. Mau itu Derek sang pacar, hingga Randy atau deputi polisi yang juga sahabat dekat Sidney, Dewey Riley (David Arquette), juga bisa menjadi potensi Ghostface-nya.

Nah penekanan ke aspek ini sangatlah brilian sehingga membuat audiens tidak terlalu mudah dan pasif banget dalam menerka-nerka sosok pembunuhnya.

Cotton Weary Memang Tidak Bersalah?

Nah lalu aspek kedua seperti yang telah gue katakan sebelumnya, adalah Cotton Weary. Seperti kita tahu pada film pertamanya ia hanya menjadi karakter latar (background). Ia hanya tampil dalam sebuah program berita televisi.

Nah ketika melihat dan mengetahui kepentingan sosok karakternya ini, kitapun ingin mengetahui lebih jauh lagi tentang sosoknya. Spesifiknya, apakah memang Weary yang membunuh ibunda Sidney, Maureen Prescott (Lynn McRee)?

Untungnya semua rasa penasaran ini terjawab dengan sangat memuaskan dalam sekuel ini. Bahkan Schreiber dalam sekuelnya ini, akhirnya tampil dan mendapatkan jatah layar (screen time) yang sangat oke.

Dan memang pada akhirnya teori Gale (Courteney Cox) selama ini yang yakin kalau Weary memang bukan pembunuh Maureen, terbukti dalam film ini. Namun yang kerennya, untuk mencapai kesimpulan valid tersebut, Craven terus menampilkan keambiguan sosoknya.

Hal ini diperkuat lagi oleh tampang dan penampilan Schreiber yang memang sangat antagonis. Mungkin kalau sosoknya diperankan oleh aktor bertampang biasa atau super mellow, kita akan langsung tahu kalau Weary memang bukan pembunuhnya. Dan ya, hal itu gak akan enak banget sih.

Kennedy Sebagai Randy Jauh Lebih Vital Peranannya

Nah semua aspek positif tersebut, kian diperkuat dengan penampilan seluruh aktornya yang keren banget. Mungkin untuk Campbell sebagai Sidney-nya kita gak perlu bahas lagi. Pokoknya ia memang sudah legit banget sebagai Sidney alias perfect casting.

Mungkin yang harus kita bahas disini adalah justru karakter-karakter pendukungnya. Pokoknya semua karakter pendukung baik yang balik dari Scream atau memang, baru muncul dalam Scream 2, semuanya tampil dengan sangat keren. Bahkan, lebih keren dari aktor pendukung film pertamanya.

Namun dari semua yang gue suka dalam film ini adalah Kennedy sebagai Randy dan duet Cox-Arquette sebagai Gale-Dewey. Kennedy sebagai Randy memang masih terlihat sebagai sosok movie nerd banget. Namun dalam sekuelnya ini, kapasitas perannya jauh lebih signifikan.

Ia kini lebih rela “pasang badan” untuk Sidney dan juga sudah jauh lebih mawas terhadap sekitar. Tapi ya walau sudah waspada ini dan itu, tetap saja sih ia tewas pada akhirnya. Namun jangan salah, kematiannya dalam film ini justru memiliki unsur heroik dan keikonikan yang sangat tinggi.

Cox-Arquette Jauh Lebih Bersinar dan Mesra

Sedangkan untuk Cox-Arquette, penampilan dan chemistry keduanya sebagai Gale-Dewey, kini jauh lebih bersinar dan mesra. Maklum jugalah karena ketika di sekuel ini, keduanya memang sudah berpacaran off-camera. Cox-Arquette kemudian menikah pada tanggal 12 Juni, 1999.

Dengan fakta tersebut, maka sekali lagi gak heran jika kita melihat perkembangan yang cukup signifikan pada chemistry Gale-Dewey. Ya memang seperti film pertamanya, awalnya keduanya masih suka berkonflik satu sama lain.

Salah satu aspeknya karena Gale yang masih suka melakukan berbagai cara apapun agar bisa menjadi sosok reporter dan penulis novel ternama. Yang mana salah satunya, adalah dengan terus mengorek hingga tuntas akan fakta sesungguhnya dari kematian Maureen.

Alhasil walau pada akhir film pertamanya, Sidney dan Gale sudah bekerjasama melawan 2 sosok Ghostaface, ketika keduanya bertemu lagi untuk pertama kalinya dalam film ini, semuanya kembali mendingin (baik terhadap Sidney maupun Dewey).

Untunglah seiring berjalannya film dan kebenaran-kebenarannya mulai terkuak, ia mulai menunjukkan rasa empati tinggi terhadap Sidney. Yang otomatis, membuat hubungan asmaranya dengan Dewey kembali romantis lagi.

Semuanya ini sekali lagi terlihat oke karena Campbell, Cox, dan Arquette, sukses menampilkan chemistry super keren antara satu sama lain.

Sideney Gak Butuh Pacar

https://www.youtube.com/watch?v=fHZOtfguU5k

Wah, berarti Scream 2 ini gak ada kekurangannya dong? Well, sayangnya masih ada guys. Ada 2 spesifiknya. Pertama, kehadiran karakter Derek yang menurut gue sih gak perlu-perlu banget.

Karena pada akhirnya seperti kita lihat pada babak awal, toh ia dilukai juga oleh Ghostface-nya. Ya ada untungnya juga memang sehingga, Sidney gak terluka atau bahkan tewas di awal-awal.

Namun seiring berjalannya film, toh Sidney membuktikan kalau ia bisa menghadapi si pembunuh ikonik tersebut sendirian. Kalaupun butuh bantuan, toh ada Randy, Gale, dan Dewey bukan?

Seharusnya Satu Ghostface Saja

Kekurangan kedua, adalah pengungkapan sosok pembunuh Ghostface sesungguhnya. Selain tidak begitu mengejutkan seperti pengungkapan Billy (Skeet Ulrich) dan Stu (Matthew Lillard) dalam film pertamanya, juga gue punya isu dengan 2 sosok yang menjadi Ghostface baru dalam film ini.

Seperti kita tahu, pada akhirnya adalah teman Sidney di Windsor College, Mickey Altieri (Timothy Olyphant) dan Debbie Salt (Laurie Metcalf), yang merupakan sosok jurnalis lokal. Nah ternyata, Debbie Salt ini adalah ibunda Billy Loomis yang sekali lagi, adalah salah satu sosok Ghostface film pertamanya.

Dan sudah bisa ditebak kalau Debbie menjadi sosok Ghostface untuk membalas dendamkan kematian Billy yang tewas di tangan Sidney pada film pertamanya. Sedangkan motif Mickey adalah karena ia dijanjikan Debbie untuk dibayarin seluruh uang kuliahnya di Windsor.

Namun agar bisa mendapatkan pembiayaan dari Debbie atau Mrs. Loomis ini, Mickey harus menuruti kemauan Debbie yaitu, membunuh Sidney. Memang sih motif Mickey ini masuk akal. Tapi selain terasa agak maksa, juga motifnya tidak sekuat dan se-personal Debbie.

Terlebih lagi dalam awal-awal filmnya, Craven dan Williamson secara brilian tidak mempertemukan keduanya alias gak berinteraksi sama sekali. Alhasil ketika Sidney mengucap kaget, “Mrs. Loomis”, kitapun juga turut kaget dan langsung berinvestasi habis-habisan dengan plot twist ini.

Sehingga ya gue katakan lagi, kalau saja film ini hanya menampilkan Mrs Loomis saja sebagai Ghostface-nya, pasti jauh lebih nendang dan gak terasa terganggu.

Sekuel Solid dan Masih Sekeren Film Pertamanya

Pada akhirnya dengan seluruh aspek positif dan negatif tersebut, bisa gue simpulkan melalui review Scream 2 ini kalau film ini masih solid dan keren. Terlepas dua kekurangan yang gue sebutkan pada paragraf sebelumnya, untungnya kekurangan tersebut gak besar banget.

Sehingga secara ironi positif, seperti yang menjadi bahan perdebatan Randy dalam kelas filmnya dalam film ini, bahwa stigma sekuel film selalu buruk, tidaklah benar adanya. Toh seperti yang terbukti melalui Scream 2 ini, banyak juga sekuel film yang sama atau bahkan lebih bagus dari film orisinilnya.

Oke deh guys. Itulah tadi seluruh review Scream 2. Semoga review-nya bermanfaat ya!

Pastikan untuk selalu kunjungi Dafunda agar kalian tidak ketinggalan update terbaru dari kami seputar dunia Game, Movie, Anime dan Pop Culture.

Related Posts

Enable Notifications OK No thanks