5 Perbedaan Anime Shounen dan Shoujo yang Harus Kamu Tahu!

I've Always Liked You/Qualia Animation

I've Always Liked You/Qualia Animation

Penggemar anime dan manga, bahkan yang paling kasual, pasti mengenal istilah shounen dan shoujo, namun apa sebenarnya perbedaan paling mencolok dari kedua jenis anime ini? Secara sederhana, shoujo berarti “gadis muda” dan shounen berarti “anak laki-laki muda,” tetapi demografi ini terus berkembang setelah lebih dari satu abad penceritaan dan eksperimen.

Serial shonen seperti One Piece dan Naruto, serta shojo seperti Sailor Moon dan Fruits Basket, sangat populer dan mendominasi pasar. Meskipun banyak orang menikmati konten ini, mereka sering kali tidak memahami makna dan representasi dari kedua jenis cerita yang berbeda ini.

Serial shoujo dan shounen seringkali terlihat jelas dibedakan berdasarkan jenis kelamin, namun sebenarnya lebih kompleks dari itu. Ada banyak elemen unik yang memberikan ciri khas pada masing-masing genre. Untuk menghargai kedua jenis cerita ini, penting untuk memahami perbandingan, perbedaan, dan evolusi keduanya seiring berjalannya waktu.

Baca Juga: 10 Anime Shoujo Terbaik yang Terkesan Bad Boy dan Toxic

Perbedaan Anime Shounen dan Shoujo

Ini dia beberapa perbedaan antara shounen dan shoujo dalam anime dan manga yang mungkin masih terdengar asing bagi kamu yang baru mengenal dunia anime.

1. Target Penonton yang Berbeda

Image: Sunrise

Shounen dan shoujo adalah demografi target manga, bukan sekadar genre. Keduanya ditujukan untuk remaja berusia 12 hingga 18 tahun, menjadikannya pilihan tepat bagi pemula dalam dunia manga dan anime. Perbedaannya, shounen untuk pria muda, sementara shojo untuk wanita. Meskipun begitu, anak laki-laki tetap bisa menikmati seri shoujo, dan gadis-gadis muda juga bisa menghargai materi shonen.

Perbedaan gender dalam anime mencerminkan audiens yang dominan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya karakter dari lawan jenis. Contohnya, ada seri shounen dengan protagonis wanita, seperti Yashahime: Princess Half-Demon, dan cerita shoujo yang berfokus pada karakter pria, seperti Banana Fish.

Shoujo awalnya ditulis oleh mangaka pria, namun dalam beberapa dekade terakhir, sebagian besar penulisnya adalah wanita. Meski begitu, tidak ada aturan yang ketat, karena ada juga wanita berbakat di shounen, seperti Rumiko Takahashi, dan pria yang berhasil di shoujo, seperti Kazuo Umezu, yang terkenal sebagai “dewa manga horor.”

2. Gaya Seni yang Berbeda

Image: Ajia-do Animation Works

Bahasa visual dalam manga atau anime sangat krusial untuk menciptakan suasana dan menjadi salah satu hal pertama yang diperhatikan oleh penonton. Serial shoujo biasanya menggunakan warna dan pencahayaan lembut, serta desain karakter yang lebih realistis dan lembut, yang menonjolkan detail pakaian dan merayakan emosi karakter. Latar belakang juga berperan penting. Elemen estetika yang menampilkan gelembung dan bunga di belakang karakter sering kali mencerminkan demografi shoujo.

Serial anime shounen umumnya memiliki alur cerita yang jelas dan aksi dinamis, seringkali melanggar realitas. Meskipun tidak semua karakter shonen kuat dan berotot, karakter utama yang tidak bertubuh kekar semakin jarang. Gaya visualnya ditandai dengan warna cerah, panel splash untuk pencapaian, dan musik energik, berbeda dengan nuansa lembut anime shoujo.

Baca Juga: 10 Anime Shoujo Underrated yang Justru Punya Cerita Seru

3. Tema dan Pesan Cerita Berbeda

Image: Toei Animation

Seri shounen dan shoujo memiliki keragaman yang signifikan, meskipun ada beberapa pola umum. Seri shounen sering kali berfokus pada tema besar seperti kebaikan versus kejahatan atau manusia versus monster. Di sisi lain, seri shoujo lebih menekankan pada hubungan interpersonal dan pengalaman manusia, terutama selama masa transisi penting dalam hidup. Keduanya memiliki kedalaman yang sama, meski dengan pendekatan yang berbeda.

Seinen dan josei adalah kategori manga yang ditujukan untuk penonton berusia di atas 18 tahun, sebagai padanan dewasa dari shounen dan shoujo. Seri-seri ini seringkali mengangkat tema yang lebih berat, termasuk kekerasan dan seksualitas. Beberapa judul, seperti JoJo’s Bizarre Adventure karya Hirohiko Araki, mulai sebagai shounen atau shoujo tetapi bertransformasi menjadi seinen atau josei seiring bertambahnya usia audiens.

4. Punya Cerita, Sub-Genre, dan Trope yang Berbeda

Image: Bones

Serial shoujo dan shonen berbeda dalam fokus cerita. Shoujo lebih pada pengembangan karakter dan pertumbuhan pribadi, sementara shonen menekankan konflik eksternal dan kompetisi yang dihadapi karakter laki-laki muda. Meskipun kedua genre memiliki elemen pertumbuhan dan konflik, cara penyampaian kisahnya berbeda.

Shoujo berfokus pada romansa dan tujuan utama adalah penyatuan pemeran utama. Sementara itu, shonen juga mengandung elemen romansa, tetapi sering dianggap kurang penting dan bisa memengaruhi kualitas pertunjukan. Audiens pria cenderung lebih toleran terhadap romansa ini. Serial “battle shonen” seperti Dragon Ball dan My Hero Academia menjadi yang terpopuler dalam genre ini, bersamaan dengan subgenre fiksi ilmiah seperti mecha dan cyberpunk.

Aksi shoujo tidak hanya terbatas pada transformasi dalam genre gadis penyihir, meskipun itu adalah kerangka umum untuk materi aksi. Hanya sedikit seri gadis penyihir yang ditujukan untuk audiens pria. Trop-trop khas dari seri shojo sering berfokus pada romansa dan momen lucu, sementara karakter shonen biasanya berhadapan dengan saingan dan mengalami “kekuatan yang meningkat” yang membawa mereka ke level yang luar biasa.

5. Perlakuan Berbeda dalam Industri Anime

Image: Studio Deen

Shounen dan shoujo adalah dua demografi anime yang paling terkenal, namun ada perbedaan jelas dalam produksi kontennya. Judul-judul shonen mendominasi dunia anime, dengan banyak seri populer berasal dari kategori ini. Di sisi lain, konten shojo telah mengalami penurunan sejak akhir 2000-an hingga awal 2010-an.

Penggemar shoujo saat ini hanya mendapatkan satu atau dua seri anime setiap musim, sementara banyak judul isekai dan power-scaling mendominasi. Akibatnya, banyak penggemar anime wanita terpaksa menonton shounen, meskipun sering kali terdapat karakter wanita yang kurang baik dan fanservice yang berlebihan.

Meskipun banyak wanita menikmati konten shounen, industri anime secara umum masih lebih memprioritaskan demografi pria. Serial shounen sering berlangsung ratusan episode, sementara serial shoujo sering terputus setelah satu musim meskipun ada banyak manga shoujo yang layak untuk diadaptasi. Hal ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap penonton dan cerita wanita dalam dunia anime.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada harapan bahwa keadaan akan berubah. Pada 2019, serial shoujo populer, Fruits Basket, diadaptasi ulang untuk menceritakan seluruh kisah manga setelah anime aslinya dibatalkan. Selain itu, Kimi ni Todoke juga mendapatkan musim ketiga di Netflix setelah lebih dari 13 tahun. Ini menunjukkan bahwa studio mulai menyadari permintaan akan konten shoujo. Jika tren ini berlanjut, mungkin akan ada saatnya shonen dan shoujo setara dalam produksi anime.

Baca Juga: 10 Anime Shounen Klasik yang Masih Layak Kamu Tonton di 2024!

Exit mobile version