Isu nuklir telah menjadi topik hangat di dunia selama lebih dari satu abad. Di Asia, sejak tahun 1960-an, China telah memimpin dalam perlombaan kekuatan nuklir, baik untuk tujuan energi maupun senjata. Pada tahun 1964, China berhasil melakukan uji coba bom atom pertama di Asia, yang menggugah perhatian banyak negara, termasuk Indonesia. Seperti apa perkembangan sejarah nuklir di Indonesia.
Contents Navigation
Sejarah Nuklir Indonesia: Sukarno dan Visi Nuklir untuk Energi Nasional
Presiden Sukarno, yang memiliki latar belakang insinyur, sejak awal kemerdekaan Indonesia sudah memandang nuklir sebagai alternatif penting untuk sumber energi. Dalam pidatonya pada Kongres Muhammadiyah pada 24 Juli 1965, Sukarno mengungkapkan ambisinya untuk mengikuti jejak China dalam mengembangkan kemampuan nuklir.
Meskipun hasrat Sukarno untuk membangun senjata nuklir tidak bertahan lama, cita-cita untuk membangun reaktor nuklir sebagai sumber energi tetap diteruskan oleh penggantinya. Sayangnya, enam dekade setelah pernyataan Sukarno, hingga kini Indonesia belum berhasil membangun satu pun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berskala besar.
Saat ini, Indonesia hanya memiliki tiga reaktor skala kecil yang terpakai untuk penelitian dan kesehatan.
Visi Nuklir di Era Suharto
Setelah Sukarno, Presiden Suharto melanjutkan sebagian visi nuklir pendahulunya. Suharto mengakui bahwa Indonesia memerlukan PLTN sebagai sumber alternatif tenaga listrik.
Meskipun terdapat penolakan dari masyarakat, BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) diminta untuk melanjutkan penelitian mengenai kondisi geologis kawasan Gunung Muria sebagai persiapan untuk pembangunan PLTN pertama di Indonesia.
“Dalam penggunaan teknologi manapun, kita dihadapkan pada risiko. Penggunaan teknologi nuklir juga mengandung risiko. Akan tetapi, apabila kita telah merencanakannya secara cermat, maka kita tidak perlu ragu-ragu lagi,” kata Soeharto saat memberi sambutan di depan pimpinan BATAN tahun 1992.
Ambisi Nuklir di Era Yudhoyono
Di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semangat untuk mengembangkan nuklir kembali muncul. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Yudhoyono meluncurkan proyek ambisius listrik 35GW, dan kembali mempertimbangkan penggunaan nuklir.
Tahun 2004, pemerintah berkomunikasi dengan Badan Energi Atom Dunia (IAEA), dan pada 2006, Mohamed ElBaradei, Ketua IAEA, menyatakan dukungannya untuk membangun PLTN di Indonesia.
Namun, hingga Yudhoyono lengser, PLTN belum terwujud, dan pemerintah justru mengeluarkan PP 79/2014 yang menegaskan bahwa energi nuklir merupakan opsi terakhir dalam meningkatkan ketahanan energi.
Kebangkitan Isu Nuklir di Era Jokowi
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, isu nuklir kembali menggeliat dengan sah-nya UU Cipta Kerja yang mengatur tentang PLTN. Dalam UU tersebut, ada aturan tentang beberapa aspek pemanfaatan tenaga nuklir untuk mempermudah proses perizinan di sektor ini.
Puncaknya, setelah Jokowi lengser, Kementerian ESDM merilis Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang menargetkan PLTN pertama di Indonesia beroperasi pada tahun 2032 di Pulau Bangka-Belitung.
Tantangan Menuju PLTN Pertama
Kapan PLTN pertama Indonesia dibangun? Jawabannya sangat bergantung pada siapa yang mendapat pertanyaan. Sementara Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan jawaban yang tidak pasti, para pengusaha, seperti ThorCon Power Indonesia, menunjukkan optimisme.
Mereka siap mengajukan proposal untuk pembangunan PLTN di Pulau Kelasa dan berharap bisa memenuhi target operasi pada tahun 2032.
Namun, tantangan besar masih ada. Banyak aturan resmi yang harus disiapkan untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi yang legal dan aman. Fabby Tumiwa, seorang pengamat kebijakan energi, mengingatkan pentingnya menunggu dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang akan menjelaskan lebih lanjut mengenai sumber penyediaan listrik ke depan.