Belakangan ini, jagat media sosial Indonesia, khususnya di platform X (Twitter), diramaikan dengan singkatan ACAB dan nomor 1312. Istilah-istilah ini sering muncul bersamaan dalam tagar atau unggahan yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap aparat kepolisian.
Sederhananya, ACAB adalah akronim dari “All Cops Are Bastards” atau “Semua Polisi Adalah Bajingan”. Sementara itu, angka 1312 adalah kode numerik yang mewakili urutan abjad dari ACAB, yaitu 1=A, 3=C, 1=A, dan 2=B.
Meskipun terdengar seperti umpatan kasar, ACAB atau All Cops Are Bastards sebenarnya adalah slogan protes yang telah lama ada di berbagai belahan dunia. Menurut laporan dari GQ Magazine, slogan ini berfungsi sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap aparat yang tidak mengayomi dan melindungi warga.
Istilah ini bukanlah fenomena baru, melainkan memiliki sejarah panjang yang berakar kuat dalam budaya protes, mulai dari Inggris hingga menyebar secara global.

Sejarah dan Evolusi Slogan ACAB atau 1312
Jejak penggunaan istilah ACAB dapat kita telusuri kembali ke Inggris pada tahun 1920-an. Pada masa itu, frasa “All Coppers Are Bastards” sudah tercatat dalam sebuah syair singkat yang dipakai oleh masyarakat kelas pekerja yang sering bersinggungan dengan polisi.
Namun, singkatan ACAB baru mulai populer pada tahun 1940-an, terutama selama unjuk rasa mogok buruh. Penggunaannya di media massa pertama kali tercatat di koran Inggris, Daily Mirror, dalam sebuah berita tentang penangkapan seorang remaja yang memakai slogan ACAB di jaketnya.
Memasuki era 1970-an dan 1980-an, ACAB semakin melekat pada subkultur skinhead dan musik punk di Inggris. Band punk ternama, The 4-Skins, menjadi salah satu yang paling berpengaruh dalam menyebarkan slogan ini melalui lagu mereka yang berjudul “A.C.A.B.”.
Di kalangan musisi dan komunitas punk, slogan ini menjadi simbol perlawanan kelas pekerja terhadap otoritas negara. Popularitasnya kemudian menyebar ke berbagai negara melalui musik, grafiti,, dan gerakan perlawanan sipil. Pada era ini pula, kode numerik 1312 mulai terpakai sebagai alternatif yang lebih samar untuk menghindari makna eksplisit dari ACAB.
Perjalanan ACAB hingga Menjadi Simbol Global:
- Penyebaran Global: Dalam beberapa dekade terakhir, ACAB telah muncul dalam berbagai demonstrasi besar di seluruh dunia, mulai dari Arab Spring di Kairo, protes pro-demokrasi di Hong Kong, hingga demonstrasi politik di Indonesia. Slogan ini juga menjadi umum di stadion sepak bola, stasiun kereta bawah tanah, hingga menjadi bagian dari perlawanan kelompok anarkis.
- Kebangkitan di Era Digital: Pada tahun 2020, ACAB kembali menjadi sorotan global selama gelombang protes Black Lives Matter di AS, menyusul kematian tragis George Floyd akibat kekerasan polisi. Istilah ini tidak hanya muncul di jalanan, tetapi juga merambah ke ruang digital, termasuk meme di TikTok, gambar satir di Instagram, dan bahkan dalam video game.
Kontroversi dan Perspektif Ganda
Meskipun ACAB sangat populer, penggunaannya tetap memicu perdebatan. Beberapa orang mengartikannya secara harfiah, memandang bahwa setiap polisi adalah bagian dari sistem yang korup.
Sebaliknya, yang lain memaknainya sebagai metafora untuk mengkritik institusi kepolisian secara keseluruhan, bukan individu-individu di dalamnya.
Bagi gerakan aktivis, ACAB adalah alat komunikasi yang sederhana dan provokatif serta instan sebagai respons atas ketidakadilan. Namun, bagi serikat polisi, slogan ini terasa seperti merusak citra dan memicu kebencian terhadap aparat penegak hukum.
Terlepas dari perdebatan ini, slogan ACAB atau 1312 kini telah menjadi bagian dari budaya populer, menunjukkan bagaimana bahasa protes bisa melekat dan melintasi berbagai generasi.
Baca Juga: