MovieReview Film

Review Scream 3 (2000): Kurang Menusuk Tapi Masih Menghibur

Walau tidak semenusuk seperti 2 film sebelumnya, namun Scream 3 masih sangat lumayan menghibur. Berikut review Scream 3 nya!

Review Scream 3 ini bersifat HEAVY SPOILER!

Ketika Scream (1996) rilis gue berusia sekitar 9-10 tahun. Ketika Scream 2 (1997) rilis gue sekitar 10-11 tahun. Nah ketika film ini rilis gue berusia 13 jalan 14 tahun.

Nah dengan fakta tersebut, semestinya gue dengan usia yang awal-awal remaja SMP tersebut, lebih segar ingatannya dengan Scream 3 daripada Scream dan Scream 2 yang mana kala itu gue masih jauh lebih cilik dan masih senang-senangnya main console SEGA Mega Drive.

Tapi ironisnya, justru adalah kenangan gue dengan Scream dan Scream 2 yang masih terus terpatri hingga di umur gue yang tentunya sudah jauh lebih tua ini. Dengan pernyataan tersebut, maka bisa kita simpulkan bahwa film Scream 3 jauh lebih buruk kualitasnya dari 2 film sebelumnya.

Karena pada umumnya, sebuah film yang oke akan terus terbawa di ingatakan kita bahkan ketika mungkin nantinya kita sudah berusia 80-90 tahun. Nah sebaliknya, apabila filmnya tidak membekas terlepas mungkin kita sudah menyaksikannya 3-4 kali dan, membutuhkan nonton ulang terus, maka fix kalau film tersebut kurang oke.

Dan sekali lagi, Scream 3 sayangnya masuk ke kategori film kurang oke dari seluruh franchise filmnya sejauh ini. Mengapa bisa demikian? Langsung saja simak review Scream 3 berikut ini.

Sidney VS Ghostface III

Oke sebelum kita mengetahui mengapa film ketiganya ini menjadi yang terlemah sejauh ini, ada baiknya gue bahas ulang lagi dulu plot Scream 3-nya.

Jadi pada dasarnya sih film ketiga ini masih berfokus pada premis utama keseluruhan film ini alias, Sidney Prescott (Neve Campbell) VS Ghostface. Dan dalam film ketiganya ini, ia sudah pindah dari Woodsboro dan menggunakan nama baru.

Oh ya di rumah barunya ini ia tinggal bersama anjing piaraan dan ayahnya, Neil Prescott (Lawrence Hecht), dan juga telah berprofesi sebagai konselor wanita-wanita yang sedang memiliki masalah atau trauma berat seperti yang Sidney alami dalam beberapa tahun belakangan.

Sistem keamanan rumah barunya dan nomor teleponnya pun juga sudah sangat privat. Hanya beberapa rekan kepercayaannya saja yang mengetahui nomornya termasuk si deputi polisi Woodsboro favorit kita semua, Dewey Riley (David Arquette).

Masih Saja Tidak Bisa Lolos Dari Ghostface

Namun walau sudah mengambil tindakan pencegahan yang maksimal tersebut, tetap saja pada akhirnya si Ghostface baru bisa menemukannya. Ya dengan kata lain, entah bagaimana si topeng hantu pembunuh ini, bisa mendapatkan begitu saja nomor telepon rumah baru Sidney tersebut.

Alhasil gara-gara itu, kehidupan Sidney kembali mencekam. Si Ghostfce barunya pun juga mulai membunuh semua aktor-aktor yang terlibat dalam film Stab 3 dan juga “mantan tersangka” dua film pertamanya, Cotton Weary (Live Schreiber).

Nah uniknya setiap selesai membunuh korban-korbannya tersebut, si ghostaface baru ini selalu meninggalkan foto lama dari mendiang ibu Sidney, Maureen Prescott (Lynn McRee). Melihat fakta ini, Sidney. Dewey, Gale Weathers (Courteney Cox), dan detektif polisi Mark Kincaid (Patrick Dempsey), bekerjasama untuk menghentikan teror Ghostface ketiga ini.

Tidak Lebih Dari Film Popcorn Saja

Nah setelah membaca ulang plot ceritanya tersebut, mari kita mulai menyimak alasan-alasan mengapa Scream 3 ini agak mengecewakan.

Pertama film ini dari adegan pembuka yang menampilkan “proses” pembunuhan Weary oleh si Ghostface baru hingga menjelang pengungkapan dan konfrontasi Sidney dengan si villain-nya ini, semuanya terasa seperti film Popcorn (Popcorn Flick).

Maksudnya disini, Scream 3 benar-benar terlihat seperti film untuk have fun saja. Pokoknya agak kurang banget untuk menekankan sisi karakter dan pendalaman ceritanya. Memang penekanan dalam kedua aspek tersebut masih ada. Tapi, ya gak sedalam seperti dua film pertamanya.

Hal ini mungkin juga karena pada poin ketiga ini, kita semua ya sudah tahu dengan keseluruhan formula franchise slasher horror karya Kevin Williamson ini. Dan ngomong-ngomong Williamson, ia jugalah yang menjadi faktor mengapa Scream 3 ini menjadi kurang greget.

Kurang Tegang dan Tidak Berjiwa Muda

Spesifiknya, Williamson dalam film ini absen. Sehingga tugas penulisan naskah pun, diberikan ke penulis naskah baru bernama Ehren Kruger (The Ring, Transformers: Revenge of the Fallen). Dan ya, terasa banget perbedaan tampilan dan feel naskahnya.

Dalam tangan Kruger, Scream 3 lebih mengedepankan aspek dramatis dan fokus ke karakter-karakternya terutama, Sidney. Sebenarnya ya gak salah juga. Tapi ini film Scream. Yang mana, harus lebih menonjol aspek horornya.

Jujur ketika menyaksikan ini, gue bagaikan nonton seri NCIS atau seri misteri polisi lainnya. Dan yang paling mengganggu banget bagi gue, adalah hilangnya tampilan dan rasa anak mudanya (youthful). Memang sih dalam film ketiga ini, Sidney sudah gak sekolah dan kuliah lagi, tapi bukan berarti kesan youthful itu hilang bukan?

Lagipula bukankah target audiens Scream selama ini adalah anak muda? Mengapa aspek ini dihilangkan begitu saja?

Untung saja melalui review Scream 3 ini gue katakan, semuanya ini masih terselamatkan oleh Craven yang lagi-lagi sukses membuktikan sosoknya sebagai sutradara super mumpuni. Kalu saja sosok Craven-nya diganti juga, gue jamin Scream 3 akan lebih hancur minah lagi.

Pembantaian SMA Columbine

Akan tetapi sepertinya kita juga gak bisa menyalahkan Kruger 100%. Karena mungkin saja naskahnya ini dipengaruhi juga oleh peristiwa dunia nyata mengerikan yang menggemparkan Amerika Serikat kala itu.

Spesifiknya peristiwa tersebut adalah pembantaian seluruh siswa SMA Columbine, Colorado, AS. Mungkin kalau kamu pre-remaja atau remaja pada tahun 1999 pasti masih ingat dengan peristiwa ini. Pasalnya kala itu, peristiwa ini diberitakan di seluruh dunia.

Jadi peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 April, 1999. Pelakunya adalah 2 murid kelas 12 di SMA itu juga, Eric Harris dan Dylan Klebold. Harris dan Klebold pada siang itu menembak-nembakkan senjata mereka di dalam lingkungan sekolahnya.

Gara-gara kelakuan sadis mereka ini, melansir halaman Wikipedia peristiwa ini, setidaknya 12 siswa dan 1 guru tewas dan, 24 murid lainnya luka-luka. Harris dan Kelbold sendiri pada akhirnya juga tewas setelah menembakkan pistol ke kepala mereka.

Pencegahan Pengaruh Film dan Video Game Pembunuhan Terhadap Audiens

Nah ketika pihak berwajib melakukan penyelidikan / penyisiran, diketahui kalau salah satu faktor yang membuat keduanya melakukan pembantaian tersebut adalah video game klasik, Doom (1993) dan Quake (1996).

Pada intinya, keduanya terutama Kelbold, sangat terobsesi dengan kedua game tersebut terlebih, Doom. Nah karena penemuan inilah, akhirnya banyak orang yang menyalahkan media yang menampilkan atau berbau kekerasan / kesadisan terhadap peristiwa pembantaian Colombine dan peristiwa serupa lainnya.

Scream 3 secara teknis memang rilis sekitar 10-11 bulan setelah peristiwa memilukan tersebut. Walau demikian, protes atau sentimen terhadap media kekerasan masih sangat tinggi. Alhasil daripada kena “semprot” juga, diputuskan agar film ini mengurangi tone darah dan kesadisannya.

Dan hal tersebut pun mereka lakukan. Walau memang, gak 100% juga. Karena Craven sendiri kala itu menentang keinginan ini. Tapi walau tidak 100% berkurang kesadisan khas Scream-nya, namun tetap saja aspek pengurangan ini sangatlah terlihat.

Lumayan banyak adegan pembunuhan Ghostface dipotong ketika ia sedang menusuk pisaunya ke korban-korbannya. Sehingga, membuat experience nonton kita menjadi sedikit melempem. Atau dengan kata lain gak kerasa seperti film Scream.

Naskah Yang Masih Menarik dan 1 Villain Saja

Untungnya selain karena tangan dingin Craven, adalah naskahnya yang masih menarik dan masih membuat kita  betah nonton filmnya.

Spesifiknya, naskah ini kembali ke keluarga Sidney. Alias, tidak seperti 2 film sebelumnya yang malah berfokus juga pada anggota keluarga lain yang dendam dengan Sidney dan keluarganya.

Hal ini terlihat melalui sosok Ghostface film ini yang ternyata, gak lain dan gak bukan adalah adik tiri Sidney, Roman Bridger (Scott Foley). Memang sih motifnya untuk membunuh Sidney terlalu whiny dan childish. Tapi sekali lagi, setidaknya kini soosk villain-nya adalah dalam keluarga Sidney.

Selain itu, setidaknya juga kini hanya Roman saja yang menjadi sosok ghostface-nya. Karena jujur bagi gue, terlepas film Scream 1 dan Scream 2 memiliki 2 villains yang mungkin bagi beberapa dari kalian terlihat semakin rame, justru gue kurang suka dengan format 2 villains tersebut.

Pasalnya seperti yang kita lihat dalam masing-masing filmnya, hanya 1 villain / ghostface saja yang memang memiliki motif sekaligus konektivitas kuat dengan Sidney.

Pada film pertama, hanya Billy Loomis (Skeet Ulrich) yang merupakan pacar Sidney dan dendam, karena ibundanya meninggalkan Billy, setelah mengetahui suaminya selingkuh dengan Maureen.

Pada film kedua, hanya Debbie Salt alias Mrs. Loomis (Laurie Metcalf), yang merupakan ibu kandung Billy yang ingin membunuh Sidney karena seperti kita tahu, pada film pertamanya, Sidney membunuh Billy.

Sedangkan Stu Macher (Matthew Lillard) dan Mickey Altieri (Timothy Olyphant) yang masing-masing menjadi sidekick kedua villain utamanya, justru tidak memiliki motif personal apapun ke Sydney. Nah justru keduanya inilah yang menurut gue menjadi sedikit mengganggu.

Namun sekali lagi, untunglah Scream 3 sudah belajar banyak yang alhasil membuat gue dan beberapa yang dari awal juga ingin 1 villain / ghostface saja, menjadi sangat terpuaskan.

Cox-Arquette Kian Dominan dan Keren

Selain aspek tersebut, aspek positif lain yang masih menyelamatkan Scream 3 adalah lagi dan lagi, penampilan seluruh cast-nya. Kayaknya sampai di film ketiganya ini, kita tidak usah lagi panjang lebar membahas betapa kerennya penampilan seluruh aktornya.

Karena ya dari film pertamanya saja, penampilan aktor-aktornya memang sudah gokil dan total banget. Dan dalam film ketiganya ini juga bukan pengecualian. Campbell sebagai Sidney, well sudah tidak usah kita komentari lagi ya guys. Ia memang super duper terbaik.

Mungkin yang kita sorot disini seperti dalam review Scream 2, adalah penampilan dan chemistry Cox-Arquette. Memang karakter Gale dan Dewey mereka dalam film ketiga ini, baru bertemu / berinteraksi pada menjelang babak 2 filmnya.

Namun walau gak dari babak pertama, ketika bertemu keduanya terlihat kian kompak saja bahkan dominan. Porsi keduanya dalam film ini kalau gue lihat sedikit lebih banyak daripada porsi Sidney. Namun justru hal inilah yang membuat keduanya terlihat kian oke.

Lagipula ketika dalam film ini, Cox-Arquette sudah menikah. Jadi ya gak heran juga bukan jika keduanya terlihat kian oke di depan kameranya?

Apabila Suka Scream Nonton Saja

Pada akhirnya kesimpulan dari review Scream 3 ini adalah filmnya masih sangat menghibur. Memang tidak sesadis dan sefokus kedua film sebelumnya namun, secara keseluruhan film ini masih watchable.

Apalagi kalau kamu memang fanboy franchise ini. Sudah pasti akan tetap suka deh dengan filmnya. Ya intinya, masih sangat menghibur dan menghilangkan stres banget guys. Oke deh itulah tadi review Scream 3. Semoga review ini bermanfaat ya!

Related Posts

Enable Notifications OK No thanks