Ultraman Rising merupakan film animasi terbaru original Netflix yang mulai tayang pada tanggal 14 Juni 2024. Sedikit berbeda dengan cerita Ultraman lainnya yang harus melawan kaiju atau monster, di film kali ini sang Ultraman harus merawat bayi kaiju. Selengkapnya mari simak review Ultraman Rising berikut ini.
Ultraman: Rising dibuat dan ditulis oleh Shanon Tindle, seorang sineas baru dari Amerika Serikat. Tindle sebelumnya terlibat dalam produksi film animasi yang populer, seperti The Croods dan Kubo and the Two Strings.
Para pengisi suara dalam film ini termasuk Christopher Sean, Gedde Watanabe, Tamlyn Tomita, Keone Young, dan Julia Harriman. Tanpa basa-basi lagi, berikut review Ultraman Rising!
Contents Navigation
Review Ultraman Rising
1. Sinopsis Ultraman Rising
Ken Sato adalah anak dari Profesor Sato dan Emiko Sato yang sebenarnya adalah Ultraman. Dia tumbuh dengan kebahagiaan di antara cerita-cerita pahlawan ayahnya dan minat ibunya dalam baseball. Namun, kehidupannya berubah drastis karena sebuah peristiwa.
Setelah tumbuh dewasa, Ken mencapai karier sebagai pemain baseball profesional di Amerika Serikat. Kemudian, ia memutuskan untuk pindah ke Jepang dan bergabung dengan klub Giants sebagai pemain, karena ia ingin memenuhi permintaan ayahnya yang sudah lama tidak pernah ia temui, yaitu untuk menggantikan posisinya sebagai Ultraman.
Setelah menjadi pemain baseball yang terkenal, Ken menjadi angkuh dan egois. Ketika bergabung dengan klub baseball baru, ia merasa sebagai sosok yang akan menjadi penyelamat bagi klub dengan meningkatkan prestasinya. Namun, di sisi lain, ia melaksanakan tugasnya sebagai Ultraman dengan kurang semangat dan tidak sepenuh hati.
Suatu saat, Ken sedang berada dalam pertandingan, monster Gigatron tiba-tiba muncul dan masuk ke kota karena sedang Kaiju Defense Force (KDF) mengejarnya. Ken merasa kesal karena pertandingan pentingnya terganggu, sehingga dia segera berubah menjadi Ultraman dan menyerang monster tersebut.
Tetapi kemudian, ia menyadari bahwa Gigatron sedang menjaga sesuatu. Ultraman pun kemudian berupaya menghentikan KDF agar tidak membunuh Gigantron. Meskipun Gigantron akhirnya takluk, Ultraman berhasil mendapatkan sebuah objek yang monster tersebut lindungi.
Ternyata objek itu adalah telur raksasa yang akhirnya menetas dan si bayi raksasa Gigantron di dalamnya menganggap Ultraman sebagai induknya.
Kenji dan Mina, robot setia milik keluarga Kenji, terpaksa harus merawat bayi tersebut sampai mereka mengetahui lokasi pulau para Kaiju. Kenji merasa kewalahan karena harus membagi waktu antara karirnya bermain baseball, membantu warga kota melawan para Kaiju, dan merawat bayi Gigantron.
2. Cerita Ultraman yang Berbeda dan Fresh
Lazimnya, plot Ultraman didominasi dengan aksi sosok pahlawan raksasa super yang tugasnya mengalahkan kaiju. Namun di film ini, kita hampir tidak menemukan plot tersebut, kecuali menuju akhir cerita di final battle.
Sebagian besar ceritanya, kita akan menyaksikan sosok Ultraman yang harus menjadi pengasuh bayi kaiju. Teknik montagenya sangat berhasil dalam menggambarkan seberapa kelelahan Kenji dalam membagi waktu antara pekerjaan dan bayi kaijunya.
Dengan begitu cemerlang, skenario Rising menggunakan tokoh ikonik ini untuk mengangkat tema keluarga, terutama tentang menjadi orang tua. Karakter Kenji yang egois dan menjauh dari ayahnya menjadi inti cerita, di mana sekarang ia harus merawat bayi Kaiju.
Pesan yang ingin disampaikan tidak sulit untuk penonton pahami. Namun, membuat skenario yang begitu mengharukan dengan latar cerita Ultraman tentu bukan hal yang mudah.
Kedekatan dan kehangatan antara Kenji/Ultraman dan bayi tersebut terjalin dengan begitu akrab, sama seperti hubungan antara seorang ayah dan putrinya.
Pada masa awal Heisei, sebenarnya ada Ultraman yang berperan sebagai pelindung kaiju, yaitu Ultraman Cosmos. Mungkin film ini mengambil inspirasi dari cerita Cosmos, yang merupakan sosok yang melindungi atau menaklukkan monster.
3. Gaya Animasi yang Menarik
Salah satu keunggulan dari Ultraman Rising adalah tampilan visualnya yang mengesankan. Pencapaian visualnya juga sangat bagus. Gaya animasinya mengingatkan pada Spider-Verse, meskipun film ini lebih berwarna daripada Rising yang memiliki nuansa yang agak gelap.
Adegan-adegan aksinya sangat menarik dan menyenangkan untuk ditonton, dengan kombinasi teknik sinematografi dan editing yang cepat.
Sebagian besar adegan dalam film itu berlangsung di malam hari. Kemungkinan ini karena mata dan color timer Ultraman yang bercahaya lebih terang di malam hari. Warna-warna yang ditampilkan juga beragam dan menawan dengan setiap kombinasi. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik dari film ini.
4. Pertarungan Epic sebagai Penutup Konflik Cerita
Meskipun sebagian besar cerita di film ini didominasi tentang makna sebuah keluarga, namun Ultraman tetaplah Ultraman, tentu saja ia harus melawan monster.
Menuju ending, kita akan menyaksikan kombinasi epik antara Ken dan Ayahnya yang menjadi Ultraman, serta sang bayi kaiju yang sudah berevolusi dengan sang induk aslinya yang ternyata masih hidup.
Mereka harus melawan robot raksasa milik KDF yang dikendalikan oleh Dr. Onda. Meskipun terbilang cukup singkat, serangkaian pertarungan klimaks ini sangat memuaskan, baik dari segi visual maupun intensitas koreografinya.
5. Beberapa Karakter yang tidak dapat Porsi Lebih
Di sela-sela serangkaian konflik cerita, ada karakter wartawan wanita bernama Ami Wakita yang juga ikut berperan dalam perkembangan mental Ken. Namun sangat disayangkan bahwa karakter ini tidak mendapatkan eksplorasi lebih jauh lagi dalam plotnya.
Padahal sosok ini memiliki potensi agar ceritanya memiliki sisi lain yang bisa menjadi bumbu tersendiri. Misalnya saja sosok Ken yang mulai tertarik dengan Ami Wakita, atau setidaknya Ami Wakita yang terlibat inti konflik yang kemudian membantu Ken secara langsung merawat sang bayi kaiju.
Selain itu, hubungan Dr. Onda dengan ayahnya Ken juga kurang mendapat eksplorasi lebih jauh. Di film ini ayah Ken hanya menceritakan bahwa ia sudah mengenal Dr. Onda sejak dulu. Meskipun terdapat petunjuk bahwa dulunya ayah Ken dan Dr. Onda adalah sama-sama seorang ilmuwan di KDF.
6. Pertanyaan yang Belum Terjawab
Kita semua setuju bahwa Emiko Sato atau ibunya Ken, menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan karakter Ken Sato, baik saat dia menjadi dirinya sendiri maupun saat dia menjadi Ultraman.
Tampaknya agak aneh jika tidak ada penjelasan apa yang terjadi dengan ibu Ken Sato mengingat pentingnya perannya. Namun, dengan melihat adegan credit scene, dapat dipastikan bahwa ada sekuel dari film ini yang akan menjelaskan hal tersebut dan mengungkap keberadaan Emiko Sato.
Kemudian, apakah sosok Dr. Onda mengetahui bahwa ayahnya Ken adalah Ultraman? Apakah Dr. Onda mengetahui bahwa ayahnya Ken masih hidup?
Selanjutnya pertanyaan yang mungkin paling penting dan mendasar ialah asal-usul dari Ultraman di film ini. Apakah mereka berasal dari planet M78 atau justru mereka menggunakan sebuah teknologi tertentu untuk berubah menjadi Ultraman?
7. Film yang Menghibur
Sebagai kesimpulan untuk review Ultraman Rising ini, menurut kami film ini sangat menjadi rekomendasi buat kalian yang ingin mencari film yang ringan dan menghibur.
Plot cerita film ini memang cukup kilse dan bisa ditebak arahnya ke mana, namun hal itu justru bukanlah sebuah masalah yang berarti. Film ini sukses menciptakan rasa nostalgia bagi para penggemar Ultraman.
Selain itu, film ini tidak hanya ditujukan untuk penggemar Ultraman saja tetapi juga untuk semua kalangan. Terlebih lagi, film ini mengangkat tema keluarga yang siapa saja bisa menikmatinya.
Menurut kami, Ultraman: Rising adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah ada. Sulit rasanya untuk bisa percaya bahwa Ultraman mampu menghadirkan kisah yang begitu emosional dan penuh kehangatan. Rating kami untuk film Ultraman Rising adalah 8/10.