Faktanya setelah menyaksikan 8 episodenya. Gue sebagai fan berat Resident Evil sejak game PS1-nya, bisa mengatakan dengan bangga kalau seri Resident Evil Netflix tidaklah buruk sama sekali.
Kalian bisa anggap pembahasan ini opini atau bahkan mini review. Apapun itu, yang jelas gue ingin banget mengeluarkan semua uneg-uneg dari adaptasi serial live-action perdana Resident Evil ini.
Dan ya, salah satu pendorong utama gue melakukan ini adalah rasa keheranan yang amat sangat setelah melihat dan bahkan membaca banyaknya review super negatif terhadap serinya ini. Banyak banget audiens dan fans (entah beneran atau mengaku-ngaku) yang memberikan komen/penilaian buruk terhadap seri ini.
Bahkan ketika tulisan ini gue buat. Skor seri ini dalam situs Rotten Tomatoes sangatlah kecil. Spesifiknya untuk skor Tomatometernya adalah 52%. Sedangkan skor audiensnya hanya sebesar 26%. IMDB juga memberikan rating yang sangat kecil yaitu, 3.8/10.
Sekali lagi ketika melihat seluruh skor dan review buruk ini dan membandingkan dengan experience yang gue alami ketika nonton serinya, gue benar-benar bingung. Mengapa sampai sebegini tidak sukanya ya?
Ras dan Tidak Mirip Game
Nah kalau yang gue perhatiin sih rata-rata komplain terhadap seri ini adalah terkait ras dan juga kemiripannya dengan game-nya. Oke mari kita bahas dulu yang masalah komplain ras-nya.
Gue heran sudah tahun 2022 dan bahkan sudah woke culture, komplain seperti ini masih ada saja. Oke memang pemeran Albert Wesker beserta ketiga kloningnya, Lance Reddick (John Wick), adalah aktor kulit hitam.
Dan hal ini memang kontras banget dengan tampilan Wesker dalam game-nya yang notabene adalah bule kulit putih.
Bahkan Wesker yang diperankan oleh Shawn Roberts dalam franchise film Resident Evil-nya Mila Jovovich. Dan juga Tom Hopper (The Umbrella Academy) dalam film Resident Evil: Welcome to Racoon City (2021), jugalah soosk aktor kulit putih seperti dalam game-nya.
Dan wajar sih memang kalau awalnya banyak yang kaget dan komplain. Karena sekali lagi penampilan fisik Wesker gak sesuai dengan game-nya.
Era Terbuka dan Akting Mumpuni
Walau demikian. Sekali lagi kita musti sadar kalau saat ini era sudah kian terbuka nan luwes. Alias sudah gak zaman lagi kita langsung menilai buruk sebuah film hanya gara-gara karakter yang diadaptasi mengalami perubahan ras.
Kalau demikian, lalu apa bedanya dengan contohnya Jimmy Olsen di seri Arrowverse, Supergirl (2015-2021)? Buktinya pada akhirnya kita menerima saja bukan Mechad Brooks (Mortal Kombat) sebagai Jimmy kulit hitamnya?
Lalu kalau mau loncat sedikit ke komik. Kini sudah ada juga Superman, Batman, bahkan Captain America kulit hitam. Padahal awalnya ketiga superhero ini adalah sosok kulit putih. Tapi pada akhirnya kita bisa menerimanya bukan?
Nah lalu kenapa hal tersebut malah beda jauh ketika melihat Reddick sebagai Weskernya? Gue pribadi sih gak pernah mempermasalahkan pergantian ras dari sebuah karakter adaptasi. Kaget banget pada awalnya? Memang. Tapi pada akhirnya adalah performa dan juga karakteristik karakternya lah yang jauh lebih penting.
Dan bagi gue pribadi performa Reddick baik sebagai Wesker maupun ketiga klon-nya pas kok. Atau dengan kata lainnya lagi. Reddick sangat sukses memerankan Wesker beserta ketiga klon versi serinya ini.
Justru Mengikuti Plot Game-nya
Lalu untuk komplain gak mirip dengan game-nya. Aduh plis banget deh guys. Kalau kalian mengaku fans RE dan juga benar-benar mengerti seluruh cerita seri Resident Evil Netflix ini, semestinya kalian gak berkomentar seperti demikian.
Oke memang pada dasarnya seri ini seperti franchise film RE Jovovich. Maksudnya plot ceritanya merupakan plot cerita orisinil. Tapi latar timeline serinya yang berlatar pada tahun 20005, 2022, dan 2036, semuanya mengacu pada latar timeline game RE.
Hal ini terbukti dengan disinggungnya kematian Albert Wesker orisinil pada tahun 2009 yang mana sesuai dengan kejadian dalam game Resident Evil 5 (2009). Lalu, juga disinggungnya bencana kiamat zombie Racoon City tahun 1998 alias sesuai game RE 1-3.
Dan sekali lagi seluruh timeline game-nya ini menjadi titik poin awal dan bahkan menjadi salah satu plot poin penting bagi serinya ini. Tapi ya pada saat yang sama, serinya tetap mengedepankan aspek orisinialitasnya.
Masih Sangat Menghibur
Dan alasan yang gak kalah pentingnya mengapa gue mengatakan mengapa seri Resident Evil Netflix tidak buruk karena faktor menghiburnya. Memang pada 2 episode pertama, plot dan feel ceritanya masih terasa asing dan agak melelahkan.
Tapi setelahnya secara perlahan, dari episode 3 sampai terakhir, alurnya kian terasa enak. Ya sama saja seperti kita menonton seri Marvel atau seri Netflix lainnya. Awal-awalnya agak slow tapi setelahnya kian menarik.
Jujur gue setelah episode 2, malah kian gak sabaran untuk menyaksikan episode 3-8. Selain pacing yang kian enak, juga faktor lainnya karena serinya ini menampilkan 2-3 timeline plot berbeda namun, masih dalam satu kesatuan.
Transisi antara kisah karakter utama Jade Wesker (Ella Balinska) pada tahun 2036 dengan dirinya yang masih cilik (Tamara Smart) juga sangat smooth. Dan ketika ending-nya men-tease akan datangnya karakter game RE favorit itu, gue kian berharap semoga seri Resident Evil Netflix ini nantinya akan ada musim keduanya.
Adaptasi Live-Action Resident Evil Terbaik Sejauh Ini
Memang sekali lagi bukanlah seri yang perfect banget. Tapi setidaknya sejauh ini. Inilah adaptasi live-action Resident Evil yang sesuai dan rapih banget seperti game-nya. Film Resident Evil: Welcome to Racoon City sebenarnya sudah semaksimal mungkin untuk mirip dengan game-nya.
Mereka bahkan kalau kita lihat, menampilkan filmnya dengan mengadaptasi game RE lama dan baru. Tapi pada akhirnya semuanya menjadi “ancur” karena filmnya ingin menceritakan semua plot game RE1 sampai RE3 dengan durasi yang gak realistis banget.
Mungkin kalau film itu menjadi seri seperti yang seri Netflix ini, Welcome to Racoon City akan mengalahkan adaptasi yang versi Netflix ini. Jadi ya kalau gue saranin. Jangan langsung emosian atau kebanyakan mau ini dan itu oke?
Nonton dulu, cerna dulu, baru bandingkan dengan baik-baik. Tidak ada kok yang namanya adaptasi dari sebuah media lain akan 100% sempurna. Apalagi adaptasi game yang mana adalah media yang experience-nya bersifat lebih pasif dan subyektif.
Pokoknya enjoy saja dulu serinya. Kalau memang nantinya sudah selesai menyaksikan dan mencerna semuanya dengan baik, tapi masih merasa gak pas juga. Barulah masuk akal penilai buruk yang diberikan oke?