Review Thor: Love and Thunder ini tidak mengandung SPOILER!
Terlepas sejauh ini kualitas film-film fase 4 MarvelMarvel adalah sebuah perusahaan hiburan Amerika yang terkenal karena menciptakan berbagai karakter superhero yang ikonik.... More Cinematic Universe (MCU) tidak sekeren dan sekonsisten seperti 3 fase sebelumnya. Namun tak memungkiri bahwa seluruh rilisan filmnya memiliki hype/antisipasi yang sangat tinggi.
Tentunya antisipasi yang tinggi ini. Dikarenakan adanya satu fitur atau hal penarik sangat kuat dari masing-masing filmnya tersebut. Nah tidak terkecuali juga dengan Thor: Love and Thunder.
Dan kerennya untuk film ini lumayan banyak daya tariknya. Akan tetapi yang paling esensial diantaranya adalah: Kembali disutradarai oleh Taika Waititi (Thor: Ragnarok), Christian Bale (The Dark Knight) sebagai villain, rilisan film kuadrilogi MCU yang pertama, serta tentunya kembalinya Natalie Portman (Thor) sebagai Jane Foster.
Oh ya satu lagi. Seperti yang kita dengar dari trailer-nya dan kita baca dari pernyataan Waititi beberapa bulan lalu. Film ini terinspirasi seluruhnya dari lagu-lagu dan vibe band Rock klasik, Guns N’ Roses. Jadi ya kurang apa lagi coba faktor penariknya?
Contents Navigation
Banyak Faktor Penghambatnya
Akan tetapi terlepas fakor-faktor penariknya tersebut. Sayangnya pada saat yang sama, banyak juga faktor penghambatnya. Maksud dari pernyataan tersebut. Adalah mengacu kepada faktor yang membuat kita kemudian merasa ragu atau bahkan enggan ke bioskop untuk menyaksikan filmnya.
Namun dari semuanya. Faktor penghambat utamanya tak lain dan tak bukan, adalah bombardir respon kurang enak terhadap film ke-4 Thor di MCU ini. Lebih spesifiknya lagi. Rata-rata reviewer mengatakan kalau film ini biasa saja.
Alias, gak semenggelegar ketiga film sebelumnya. Belum lagi banyak juga yang mengatakan kalau film ini jauh lebih banyak lawaknya. Alhasil sekali lagi gara-gara ini. Banyak beberapa dari kita yang kemudian memilih untuk menunggu saja hingga perilisan Disney Plus-nya.
Nah setelah menunggu 2 bulan lamanya. Akhirnya, Thor: Love and Thunder rilis juga di Disney Plus pada tanggal 8 September, 2022 kemarin.
Lalu apakah film ini memang nge-rock seperti yang kita harapkan? Atau malah seluruh respon kurang enak tersebut memang benar adanya? Well, langsung saja kamu simak review Thor: Love and Thunder berikut ini.
Kehampaan Thor
Thor: Love and Thunder pada dasarnya dan biar gampangnya nih, berlatar setelah ending Avengers: Endgame (2019). Spesifiknya, pasca adegan ending yang memperlihatkan Thor (Chris Hemsworth) yang pergi meninggalkan bumi bersama tim Guardians of the Galaxy.
Dan pasca ending tersebut. Thor bersama Star-Lord (Chris Pratt) cs pun pun berjalan-jalan dari satu planet ke planet lain. Dan rata-rata memang perjalanan yang mereka lakukan ini berisfat “tugas negara” alias ada misinya.
Tentunya dengan adanya Thor. Seluruh misi yang mereka lakukan ini selalu berakhir dengan kesuksesan. Namun terlepas kesuksesan yang diraih. Dari sisi personal dan psikologis, Thor pada dasarnya merasa hampa.
Atau dengan kata lain sudah tidak ada semangat lagi untuk mengeksplorasi hal lain. Apalagi untuk bersenang-senang. Pokoknya ia merasa galau banget. Bahkan Star-Lord pun sadar banget dengan hal ini.
Teror Gorr the Butcher
Untungnya kehampaannya tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini karena suatu hari, ia mendapatkan rekaman pesan dari anak buahnya, Lady Sif (Jaimie Alexander).
Isi dari rekaman tersebut pada dasarnya ingin memberitahukan adanya sosok pembunuh para dewa (Godkiller). Yang mana seperti kita tahu, bernama Gorr the Butcher (Bale). Pasca mengetahui hal ini, Thor pun langsung bergerak cepat untuk menghentikan teror Gorr ini.
Akan tetapi tiba-tiba. Mantan kekasih Thor, Jane Foster (Portman) kembali. Dan seperti yang sudah kita lihat dari trailerTrailer adalah cuplikan singkat dari sebuah film yang dirilis sebagai promosi sebelum film tersebut tayang... More film ini. Jane kini juga sudah menjadi Thor. Alhasil, melihat ini si dewa petir pun merasa bingung. Spesifiknya, bagaimana ia bisa menjadi seperti dirinya?
Kebingungan ini ditambah lagi dengan rahasia menyedihkan yang dimiliki Jane di filmnya ini. Wah rahasia apa tuh? Lalu bagaimanakah nantinya Thor dan geng-nya menghentikan aksi pembantaian yang dilakukan oleh Gorr ini?
Dan yang lebih terpenting. Mengapa Gorr melakukan pembantainnya? Well, untuk mengetahui seluruh jawabannya ini, langsung saja kamu saksikan filmnya di Disney Plus oke?
Tidak Seburuk Seperti Yang Reviewer Katakan
Melalui review Thor: Love and Thunder ini. Maka bisa gue katakan kalau film ini tidaklah seburuk seperti yang reviewer katakan. Jadi apakah ini artinya gue kini menjadi menyesal banget karena gak menyaksikan film ini di bioskop ketika rilis tanggal 6 Juli 2022 lalu?
Hmm, gak juga. Karena walau sekali lagi filmnya tidak seburuk seperti yang dikatakan. Namun pada saat yang sama, film ini ya biasa saja. Dan apabila kalau kita bandingkan ke Thor: Ragnarok, film Thor perdana Waititi tersebut tentunya masih jauh lebih keren.
Entahlah kalau menurut gue. Thor: Ragnarok (2017) filmnya masih terlihat dan terasa ada bobot dan tujuan di dalamnya. Akan tetapi Thor: Love and Thunder, ya bagi gue filmnya ada karena “kewajiban.”
Kalau film ini gak ada pun, ya gak masalah banget kok. Toh konektivitas ke fase 4 dan keseluruhan multiverse saga-nya ini juga tidak signifikan banget.
Ada sih 1 aspek konektivitas ke fasenya yang terasa lumayan penting. Tapi tetap saja aspek ini bisa dijelaskan dalam rilisan film MCU lainnya. Atau lebih spesifiknya lagi, film MCU yang memang sangat pas untuk men-tease atau bahkan menjelaskan panjang lebar 1 konektivitas penting untuk fase 4-nya tersebut.
Namun ya pada akhirnya kita hanyalah audiens dan filmnya pun sudah terlanjur rilis. Jadi ya kini kita hanya bisa menerima dan menikmatinya saja.
Eksis Untuk Menebus Kesalahan Terhadap Portman
Nah masih sedikit melanjutkan sisa pembahasan poin sebelumnya. Pada poin tersebut sekali lagi gue katakan kalau Thor: Love and Thunder dibuat karena adanya sebuah obligasi atau “kewjiban.”
Nah maksud dari pernyataan tersebut, sebenarnya ingin menjurus ke kembalinya Portman sebagai Jane di film ini. Terasa banget kalau film ini dibuat hanya untuk menebus kekecewaan Portman yang seperti kita tahu, hengkang dari MCU pasca Thor: The Dark World (2013).
Sehingga sekali lagi. Kalaupun film ini gak ada pun. Tak lantas akan merusak seluruh konektivitas MCU-nya. Bahkan gue juga bisa katakan, tidak akan merusak atau mengganggu sub-plot hubungan “ngegantung” antara Thor dan Jane.
Toh bukankah di Ragnarok dulu sudah dijelaskan kalau pada esensinya Thor sudah memutuskan Jane (atau ya mungkin sebaliknya)? Dan bukankah setelah penjelasan tersebut, baik kondisi Thor maupun film-film MCU setelah Ragnarok tetap berjalan lancar-lancar saja seperti biasanya?
Penebusan Yang Sangat Layak
Tapi untungnya terlepas pernyataan terakhir tersebut. Penebusan/permintaan maaf MCU ke Portman ini sangatlah layak. Atau dengan kata lain, struktur penceritaan kembalinya Jane dalam film ini sangatlah tertata dengan oke dan yang penting gak maksa.
Penampilan Portman sendiri pun juga sangat oke. Pokoknya ketika melihatnya. Kerasa dan kelihatan banget kalau Portman seakan cuma “cuti” sebentar dari karakter Jane-nya ini. Dengan kata lain, ia masih terlihat sekeren seperti ketika memerankan Jane di 2 film pertama Thor dulu.
Portman bahkan jauh terlihat lebih nyaman dan santai banget di film ini. Chemistry-nya dengan Hemsworth pun juga kian luwes saja. Pokoknya gak se-awkward ketika di film Thor (2011) dulu.
Hemsworth Adalah Thor
Hal yang serupa juga bisa kita katakan pada penampilan individual Hemsworth sebagai Thor. Dalam penampilan keempatnya di film solo Thor. Dan juga penampilannya yang ke-8 dalam film full live-action MCU sebagai si putra dewa Odin (Anthony Hopkins) ini.
Aktor asal Melbourne, Australia ini, sudah terlihat nyaman dan menyatu banget dengan sosok dewa superhero-nya ini. Atau dengan kata lainnya lagi, Hemsworth dalam memerankan karakter Thor-nya ini, sudah bagaikan Robert Downey Jr. dengan Iron Man-nya.
Yang alhasil secara gak langsung. Membuat kita sebagai audiens nantinya akan menangis sebombay-bombaynya apabila nantinya ia sudah tidak memerankan Thor lagi.
Ketika Bat-Man Menjadi Bad-Man
Akan tetapi nih. Terlepas dari tadi di review Thor: Love and Thunder ini gue memuja-muja penampilan Hemsworth dan Portman. Namun adalah Bale sebagai Gorr yang benar-benar mencuri perhatian.
GOKIL! Setelah sekian lama tidak memerankan karakter antagonis. Terlebih jika mengingat, ia belum pernah sama sekali memerankan sosok villain dari adaptasi film superhero manapun. Penampilan Bale sebagai Gorr dalam film ini benar-benar menakjubkan.
Bale sukses membuat kita bersimpati namun juga pada saat yang sama membenci Gorr atas perbuatannya dalam film ini. Andai saja porsi penceritaan asal-usulnya sedikit lebih panjang lagi, gue jamin sosok Gorr akan jauh lebih keren dan simpatik lagi.
Durasi Yang Terlalu Singkat
Tapi ya bagaimana mau dipanjangkan juga kisah asal-usul atau kehadirannya (baca: Gorr) yang lebih banyak lagi, jika durasi filmnya saja terlalu singkat? Ya memang seperti yang terlansir dari halaman IMDBIMDb, singkatan dari Internet Movie Database, adalah sebuah situs web yang menyediakan informasi terpercaya dan... More film ini. Durasi Thor: Love and Thunder adalah 1 jam 58 menit atau hampir 2 jam (120 menit).
Tapi mengingat untuk tipe film superhero seperti MCU ini dan juga sekali lagi menampilkan sosok villain baru. Maka durasi tersebut sangatlah singkat. Kalau menurut gue film ini harus berdurasi setidaknya 130-135 menit.
Gue yakin apabila dengan durasi tersebut. Gak hanya origin Gorr bisa lebih dalam dan panjang lagi penceritaannya. Juga secara keseluruhan, filmnya gak terlihat dan terasa agak buru-buru. Tapi untunglah Waititi masih bisa mengakali durasinya ini dengan oke.
Gak Perlu Banget Terinspirasi Guns N’ Roses
Nah satu lagi nih yang membuat gue sedikit terganggu. Oke memang keren banget seluruh konsep Thor: Love and Thunder terinspirasi dari band dan juga vibe lagu-lagu Guns N’ Roses.
Dan faktanya memang seperti itulah Waititi dalam beberapa filmnya. Maksudnya konsep filmnya terinspirasi dari musik atau lagu yang ia sukai. Seluruh konsep Thor: Ragnarok saja terinspirasi dari lagu hit klasik milik Led Zeppelin, ‘The Immigrant Song’ (1970).
Namun tidak seperti Ragnarok yang mana inspirasi dan juga soundtrack lagu tersebut memang terlihat dan terdengar pas. Sayangnya gak demikian dengan inspirasi GNR dengan film ini. Entahlah guys. Gue merasa gak ada kecocokan sama sekali.
Yang ada gue melihatnya gak lebih sebagai ego Waititi saja. Maksudnya karena ia suka GNR dan merasa (baginya) cocok untuk tonal dan konsep film ini. Maka iapun menjadikannya sebagai inspirasi filmnya.
Padahal selain gak cocok. Juga menurut gue pribadi, alangkah lebih baiknya ia membuat saja film ini berdasarkan sumber inspirasi komik Thor-nya. Akan tetapi pernyataan gue ini tentunya gak akan berlaku ke kamu-kamu yang memang fans berat GNR.
Film MCU Yang Gak Wajib Untuk Ada
Pada akhirnya yang bisa kita simpulkan dari review Thor:Love and Thunder ini adalah film ini pada dasarnya gak wajib-wajib banget untuk ada.
Film ini menurut gue hampir 11-12 dengan film pembuka fase-4, Black Widow (2021). Tapi bahkan gue saja kini mengakui bahwa Black Widow masih jauh lebih masuk akal.
Maksudnya disini, setidaknya keeksistensian film tersebut masih memiliki implikasi yang cukup penting terhadap seluruh universe MCU-nya. Jadi ya kalau film ini kala itu gak ada, ya agak susah juga memang.
Tapi untuk Thor: Love and Thunder, sayangnya film ini gak memberikan implikasi yang vital banget. Pokoknya seperti yang gue katakan. Kalaupun film ini gak ada, ya gak lantas merusak seluruh tata kisah MCU-nya.
Namun ya pada saat yang sama, untungnya film ini masih menghibur. Dan tentunya tingkat menghiburnya ini sangat jauh lebih oke daripada Black Widow.
Jadi ya guys. Bagi kamu yang mungkin dari kemarin masih merasa ragu untuk nonton Thor: Love and Thunder. Gue sih menyarankan untuk nonton saja. Tapi kalaupun kamu gak mau pun, kamu masih bisa tenang kok.
Oke deh guys. Semoga review Thor: Love and Thunder ini bermanfaat ya!