Karena film Birds of Prey kini sedang tayang lagi di jaringan bioskop Indonesia (spesifiknya: CGV Cinemas), maka pas banget bagi kami untuk melakukan review Birds of Prey ini.
Dan juga nih itung-itung siapa tahu saja ada dari kamu yang mungkin belum nonton film tim antihero DC ini. Jadi yap sekali lagi, pas banget bukan jika kami melakukan review Birds of Prey ini?
Contents Navigation
Ceritanya Harley Quinn
Oke lalu bagaimana nih? Apakah film DCEU arahan Cathy Yan (Dead Pigs) ini sesuai seperti ekspektasi kita? Karena kalau kita masih ingat, hype Birds of Prey ini serupa dengan hype-hype film DCEU sebelumnya. Heboh banget.
Tapi seperti kita tahu hype train yang amat sangat itu kerap mengecewakan (terkecuali Aquaman dan Shazam!). Dan menurut kami pribadi, semestinya pihak DC tidak usah memberikan film ini dengan judul Birds of Prey.
Karena dari awal sampai akhir, film ini benar-benar berfokus pada sosok Harley Quinn (Margot Robbie). Semestinya, film ini diberi judul sama saja seperti seri animasi layanan streaming DC Universe, Harley Quinn.
Tapi bukan berarti, karakter anggota Birds of Prey lainnya, tidak disorot sama sekali. Memang disorot dan bahkan diberikan porsi waktu yang cukup untuk menceritakan latar belakang mereka. Terutama, Helena Bertinelli aka Huntress (Mary Elizabeth Winstead) dan Renee Montoya (Rosie Perez).
Bahkan, sosok si gadis pencopet, Cassandra Cain (Ella Jay Bosco) pun diberi durasi dan fokus yang sesuai walau, memang menurut kami, masih bisa untuk dikembangkan lebih jauh lagi.
Tapi walau demikian, tetap saja, pada akhirnya Birds of Prey seakan menjadi judul dan trio “tempelan” aja. Film ini seharusnya diberi judul The Harley Quinn Movie.
Sub Plot Black Canary Yang Gak Perlu Banget
Plot utama film ini pada dasarnya terbagi 2. Pertama, mengisahkan bagaimana nasib Harley setelah putus dari Joker (Jared Leto) dan kedua, pencarian berlian super mahal terakhir peninggalan keluarga Bertinelli.
Dan karena profesinya disini sebagai pencopet, bisa diterka, berliannya dicopet oleh Cain.
Alhasil Quinn, tim Birds of Prey, dan kedua villain: Roman Sionis aka Black Mask (Ewan McGregor) dan Victor Zsasz (Chris Messina), berlomba untuk mengincar berliannya. Walau memang motif / latar mereka berbeda-beda.
Nah di tengah-tengah kedua plot utama tersebut, Birds of Prey juga menyuguhkan beberapa sub-plot / plot tambahan. Dan sebagian besar sub-plot nya lebih bersifat eksposisi.
Maksudnya, plot-nya menjelaskan asal-usul karakter dan juga, menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa yang kita saksikan di layar awalnya, bisa terjadi. Dan untuk aspek ini, bisa dikatakan Yan cs jenius banget.
Mereka mengisahkannya melalui narasi dan sudut pandang dari Quinn sendiri. Sudut pandang dan narasi yang benar-benar kocak, “otak miring” dan slengean khas Quinn. Dan sekali lagi Robbie sebagai Quinn, sangat keren.
Namun sayang diantara sub-plot sub-plot tersebut, terdapat satu yang terasa tanggung. Yaitu sub-plot antara Montoya dan Dinah Lance aka Black Canary (Jurnee Smollett- Bell).
Jujur kami bingung. Dan kami yakin ketika kamu nonton akan bingung juga. Sub-plot antara keduanya ini adalah tipe yang gak boleh seprempat atau setengah terus udah gitu aja.
Kalau misalkan di awal dan di tengah mau diceritakan dulu sebagian, harus diselesaikan. Pokoknya harus ada paid-off nya. Tapi ya dibiarin gantung gitu aja. Jadinya ya terasa mengganggu dan seharusnya gak perlu dibuat.
Villain Yang Gak Pas
Biasanya kekurangan-kekurangan yang seperti di atas atau dalam tipe film superhero seperti ini. Bisa diselamatkan dengan sosok penjahat utamanya.
Tapi entah mengapa dari awal, DCEU untuk departemen ini, selalu kurang. Dari 8 rilisan film-film DCEU sejauh ini, bagi kami baru 3 yang terasa bagus atau medingan: Zod di Man of Steel, Orm di Aquaman, dan Doctor Sivana di Shazam!
Dan sayangnya Black Mask dan Zsasz, lagi-lagi mengulangi “tradisi” DCEU tersebut. Sudah terllau campy / over the top, juga tidak sesuai banget dengan karakteristik yang ditampilkan di komiknya selama ini.
Bahkan di film ini, mungkin untuk mengikuti zaman. Sionis dan Zsasz diimplikasikan adalah pasangan kekasih sesama jeni. WALAU memang gak eksplisit banget. Kami gak masalah atau anti banget dengan LGBT. Itu sih pandangan dan prinsip masing-masing.
Tapi c’mon. C’MON! Apa memang harus banget (necessary) untuk menempuh modifikasi tersebut? Sepertinya gak perlu bukan? Dan sekali lagi, baik McGregor dan Mesina, salah casting banget.
Apalagi Mesina sebagai Zsasz. Tidak ada sangar-sangarnya, sadis-sadisnya sama sekali.
Jujur kami lebih baik melihat kembali penampilan Anthony Carrigan sebagai Zsasz di seri hit Gotham, daripada Mesina. Ia disini malah lebih terlihat sebagai sidekick / goon generik dari Sionis.
Akting Yang Keren dan Maksimal
Untungnya masih ada sisi bagus di review Birds of Prey ini. Yaitu sisi penampilan. akting aktor-aktornya. Semuanya bagus dan mencurahkan semuanya banget.
Robbie sebagai Quinn gak perlu diragukan. Jay Bosco cukup oke sebagai Cain versi film ini. Winstead sebagai Huntress lagi-lagi terlihat charming seperti ketika memerankan Ramona Flowers di film cult hit, Scott Pilgrim vs. the World (2010).
Bahkan walau secara konsep dan interpretasi salah banget. Jay Bosco, Mcgregor dan Messina, terlihat niat dan enjoy banget dalam memerankan masing-masing karakter ikonik DC-nya. Dan oh ya, seluruh pilihan lagu soundtrack di film ini juga asyik-asyik.
Menghibur Doang
Alhasil dengan seluruh penilaian di atas. Birds of Prey atau lengkapnya, Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn), tidak sesuai ekspektasi.
Terlebih bagi kita yang masih rajin banget baca-baca komik DC aka fanboy. Aduh jangan ketinggian deh ekspektasinya. Karena selain gak fokus penuh dengan Birds of Prey, juga banyak banget modifikasi karakter yang gak banget.
Memang sih di komiknya, Quinn tergabung dalam grup Birds of Prey. Dan di film ini, Quinn ada. Tapi ya salah start dari awal. Kalau memang mau menghidupkan BOP, ya langsung saja dari awal Quinn, gabung dan fokus filmnya, pada kelompok ini.
Oke we get it. Mungkin BOP ini ingin mengisahkan dulu awal formasi grupnya. Kalau memang mau demikian, ya jangan terlalu banyak dong fokusnya ke Quinn. Yang alhasil sekali lagi membuat film ini, serasa seperti film solo Harley Quinn.
Semestinya Yan dan DC bisa mencontek sedikit atau gak pa-pa banyak dulu ke rival, Marvel aka MCU melalui film The Avengers (2012). Karena ya let’s face it, itulah film pembentukan kelompok film superhero yang benar. Alias, gak fokus sama 1 atau 2 karakter saja.
Tapi ya untungnya sih, setidaknya kalau ditonton, masih menghibur. Alias gak yang sampai bikin kesal maki-maki gak karuan. Apalagi kalau kamu memang fans Quinn-nya Robbie. Bakal ngakak dan asyik sendiri deh.
Score: 6.5 / 10